Adse

Pengaruh Islam Di Aceh


Pengaruh Islam di Aceh



                Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke VII Masehi dengan jalan damai tanpa paksaan dan dengan banyak penyesuaian pada keadaan setempat. Masyarakat Aceh pada waktu itu menganut agama Hindu-Budha serta kepercayaan asli Indonesia. Sesuatu yang dianggap baik dari zaman Hindu-Budha tidak dihancurkan, tetapi tetap diteruskan dan disesuaikan dengan ajaran Islam . Bahkan dalam satu buku Arab lama karangan Sayyid Al-Idrisi, Seseorang ahli Geografi tersohor mengatakan bahwa antara tahun 846-850 M (232-236H) penduduk disana masih biadab[1]. Lambat laun  pengaruh Islam mengalami perkembangan pada abad ke XIII Masehi. Penyebaran Islam dilakukan oleh para pedagang dan ulama dari bangsa Arab,Persia,dan Gujarat. Saat itu orang-orang Arab melalui Malabar untuk menyiarkan agama Islam.
               Seorang musafir dari Venesia, Italia yag bernama  Marco Polo  menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 1292 Masehi telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam kepada penduduk Aceh, tetapi tidak disebut tentang Islam di Pasai dan Samudra, padahal di sana sudah terbentuk suatu kerajaan yang diperintah Al-Malik As-Saleh .Berita dari Marco Polo ini merupakan berita tertua yang menyatakan bahwa di Indonesia telah berkembang sekelompok penduduk Muslim, terutama pada kota-kota yang terletak ditepi pantai atau ditepi jalur pelayaran dan perangan pada saat itu.          
                 Seorang pengembara muslim terkenal dari Maghribi, Ibnu Batutah (utusan Sultan Delhi)  yang singgah di Aceh tahun 1345 Masehi (746H) menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i dan dari catatannya dapat diketahui bahwa Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting[2].
                 
Pada tahun 1509 Diego Lopez de Sequeira mengunjungi Pasai. Ia berpendapat bahwa Pasai merupakan pusat penyebaran budaya dan ajaran agama Islam terpenting dan pertama di Indonesia. Bahkan dari daerah Pasai inilah budaya dan ajaran agama Islam kemudian berkembang keberbagai daerah di Indonesia[3] . Bahkan pada Abad ke 16 M ada seorang ahli Tasawuf yang bernama Hamzah Fansuri di Aceh, Syamsudi As-Samatrani, dan Nuriddin ar-Raniri di Aceh[4]. Ini menunjukkkan bahwa Aceh sangat berpengaruh,berjasa atas tersebarnya Islam di nusantara
                 Proses Islamisasi melalui perdagangan sangat menguntungkan dan lebih efektif dari cara-cara lainnya. Apalagi yang terlibat dalam perdagangan bukan hanya masyarakat yang berasal dari golongan bawah, melainkan juga golongan atas seperti kaum bangsawan atau para raja. Komoditasi  perdagangan waktu itu ialah lada, kapur barus, dan emas. Alat tukar yang dipakai adalah uang emas yang dinamakan deureuham (dirham). Masyarakat Aceh bersikap terbuka dan menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Salah satu buktinya adalah batu nisan Sultan Malik As-Saleh dan jirat Putri pasai yang berasal dari Gujarat (India). Melalui berbagai saluran tersebut, Islam dapat diterima dan berkembang pesat sejak sekitar abad ke-13 M . Alasannya adalah sebagai berikut.
1- Islam bersifat terbuka sehingga penyebaran agama Islam dapat dilakukan oleh siapa saja    atau oleh setiap orang muslim.
2- Penyebaran Islam secara damai.
3- Islam tidak membedakan kedudukan seseorang dalam masyarakat .
4- Upacara-upacara dalam agama Islam dilakukan dengan sederhana .
5-Ajaran Islam berupaya untuk menciftakann kesejahteraan kehidupan masyarakatnya                              dengan adanya kewajiban zakat bagi yang mampu.
6- Karena ajaran Islam melaksanakan prinsip ketauhidan dalam sistem ketuhanannya, suatu perinsip yang secara tegas menekankan ajaran untuk mempercayai Tuhan yang Maha Tunggal. Sebagai konsekuensinya, Islam juga mengajarkan prinsip keadilan dan persamaan dalam tata hubungan kemasyarakatan. Hal ini merupakan ajaran baru yang bertentangan secara diamental, dengan sistem hubungan kemasyarakatan pada waktu itu, yaitu sistem kasta yang berasal dari ajaran Hindu. Dengan memilih Islam, pada dasarnya mereka telah menempatkan diri pada suatu kehidupan keagamaan yang mempunyai asas persamaan, kebebasan dan keadilan. Kerena walau bagaimanapun menurut Islam semua manusia sama dalam pandangan Tuhan, yang membedakan hanyalaah ketakwaan kepasa Allah SWT[5]

                                                           BAB II
                                             KERAJAAN ISLAM DIACEH


        A. KERAJAAN SAMUDERA PASAI


                   Kerajaan Samudra Pasai adalah kerajaan pertama di Indonesia yang menganut agama Islam. Secara geografis, Kerajaan Samudera Pasai terletak didaerah pantai timur pulau Sumatera yang berdekatan dengan jalur pelayaran perdagangan Internasional pada masa itu, yakni Selat Malaka.
                   Dengan posisi yang sangat strategis ini, kerajaan Samudera Pasai berkembang menjadi kerajaan Islam yang cukup kuat pada masa itu. Perkembangan ini juga didukung dengan hasil bumi dari Kerajaan Samudera Pasai seperti lada. Dipihak lain, bandar-bandar  dari Kerajaan Samudera Pasai juga dijadikan bandar penghubung antara para pedagang Islam yang datang dari arah barat dengan para pedagang Islam dari arah timur. Keadaan seperti inilah yang mengakibatkan Kerajaan Samudera Pasai mengalami perkembangan yang cukup pesat pada masa itu, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya[6]


         B. KEHIDUPAN POLITIK
                         
                      Berdirinya  Kerajaan Samudera Pasai tidak dapat diketahui dengan pasti. Akan tetapi para ahli berhasil menemukan bukti tentang perkembangan kekuasaan Kerajaan Samudra Pasai. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Samudera Pasai antara lain:

Nazimuddin al-kamil: Pendiri Kerajaan Samudera Pasai adalah Nazimuddin al-kamil, seorang laksamana laut dari Mesir. Pada tahun 1238 Masehi. Ia mendapat tugas merebut pelabuhan Kambayat di Gurajat yang dijadikan tempat pemasaran barang-barang perdagangan dari timur. Nazimuddin al-Kamil juga mendirikan satu kerajaan di pulau Sumatera bagian utara. Tujuan utamanya untuk dapat menguasai hasil perdagangan rempah-rempah dan lada.
      Nazimuddin al-Kamil meletakkan dasar-dasar pemerintah Kerajaan Samudera Pasai dengan berlanaskan hukum-hukum ajaran Islam. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Samudera Pasai mengalami perkembangan yag cukup pesat, walaupun secara politis Kerajaan Samudera Pasai berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit

Sultan Malik as-Shaleh: Setelah berhasil mengalahkan Dinasti Fatimah di Mesir (penganut aliran Syi’ah), Dinasti Mamaluk (penganut aliran Syafe’i) ingin merebut Samudera Pasai agar appat menguasai pasaran lada di wilayah timur. Dinasti Mamaluk mengirim Syekh Ismail yang bersekutu dengan Marah Silu (keturunan Marah Pasai). Mereka berhasil merebut Kerajaan Samudera Pasai, dan Marah ilu diangkat sebagai rajanya dengan gelar Sultan Malik as-shaleh
            Sultan Malik as-Shaleh memerintah Samudera pasai dari tahun 1285-1297 masehi. Sultan yang semula menganut aliran Syiah  itu akhirnya berbalik menganut aliran Syafe’i, seperti  Dinasti Mamaluk. Perkawinan Sultan Malik as-Shaleh dengan putri Ganggang sari memperkuat kedudukannya di daerah pantai timur Aceh, sehingga Kerajaan Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan di Selat malaka.


Sultan Malik at-Thahir: Setelah Sultan Malik as-Shaleh wafat, tahta kerajaan beralih kepada purtanya yang bergelar Sultan Malik at-Thahir. Pada masa kekuasaannya (1297-1326), terjadi peristiwa yang penting di Kerajaan Samudera Pasai saat putra Sultan Malik as-shaleh yang bernama Abdullah memisahkan diri ke daerah Aru (Barumun) dan bergelar Sultan Malik al-Mansur. Ia kembali kepada aliran yang semula yaitu aliran Syiah
           Ketika Kerajaan Malaka muncul dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Selat Malaka, kedudukan Kerajaan Samudera Pasai sebagai daerah mulai redup
      
          Menurut apa yang dikemukakan Ibnu Batutah tersebut, dapat ditarik kepada sistem pendidikan yang berlaku dizaman kerajaan Pasai, yaitu:

1- Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat ialah fiqh mazhab Syafi’i
2- Sistem pendidikannya secara informal berupa majelis talim dan halaqah
3- Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh agama
4- Biaya pendidikan agama bersumber dari kerajaan[7]

           B. KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
                
                    Ketika Kerajaan Islam Pasai mengalami kemunduran, di Malaka berdiri sebuah Kerajaan yang diperintah oleh Sultan Muhammad Syah atau juga yang disebut Sultan Ibrahim[8]. Namun kerajaan ini pun tidak bertahan bisa bertahan lama, setelah mengalami masa keemasan yaitu ketika Sultan Muszaffar Syah (1450) memerintah. Sesudah itu terus mengalami kemunduran. Ia tidak mampu menguasai pengaruh dari luar terutama yang berada di Aceh. Maka sejak itulah Kesultanan diaceh mulai berkembang
                  Kerajaan Aceh Darussalam yang diproklamasikan pada tanggal 12 Zullkaedah 916 H (1511 M) menyatakan perang perang terhadap buta huruf dan buta ilmu. Hal ini merupakan tempaan sejak berabad-abad yang lalu, yang berlandaskan pendidikan Islam dan ilmu pendidikan .
          Proklamasi Kerajaann Aceh Darussalam tersebut adalah hasil peleburan Kerajaan Islam Aceh di belahan barat dan Kerajaan Islam Samudera Pasai belahan timur. Putra Sultan Abiddi Syamsu Syah diangkat menjadi raja dengan gelar Sultan Alauddin Ali Mugyat Syah (1507-1522).
           Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjananya yang terkenal di dalam dan diluar negeri, sehingga banyaklah orang luar yang datang ke Aceh untuk menuntut ilmu. Bahkan Ibukota kerajaan Aceh Darussalam terus berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
         karena itulah beberapa kalangan ada yang menyatakan, bahwa pada saat-saat kekuatan negara barat telah mematahkan sebagian besar negara-negara Islam, pada watu itulah yaitu sekitar abad ke 16 Masehi lahir 5 besar Islam yang terikat dalam suatu kerja sama ekonomi, politik, militir,dan kebudayaan, meliputi:
1-  Kerajaan Turki Usmani di Istambul
2-  Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara
3-  Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah
4-  Kerajaan Islam Akra di India
5- Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia tenggara [9]

                Untuk mengatur pemerintahannya, disusunlah kitab undang-undang yang bernama Adat Mahkota Alam. Corak pemerintahan Kerajaan Aceh, terbagi kedalam dua cabang, yaitu:
1- Pemerintahan sipil, yang dipimpin oleh kaum bangsawan yang bergelar Teuku.
2- Pemerintahan agama, yang dipimpin oleh kaum ulama yang bergelar Teungku[10].





                  A.RAJA-RAJA YANG PERNAH MEMERINTAH DIKERAJAAN ACEH

     Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Aceh adalah:

Sultan Ali Mughayat Syah: Sultan Ali Mughayat Syah adalah raja pertama Kerajaan Aceh. Ia memerintah Aceh tahun 1514-1528 Masehi. Dibawah kekuasaannya , Kerajaan Aceh melkukan perluasan ke beberapa daerah berada di wilayah Sumatera Utara seperti daerah Daya dan Pasai, bahkan melakukan serangan terhadap kedudukan bangsa Portugis di Malaka dan juga menyerang kerajaan Aru
Sultan Salahuddin: setelah Sultan Ali Mughayat Syah wafat, pemerintahan beralih kepada putranya yang bergelar Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528-1537 Masehi. Selama menduduki tahta Kerajaan Aceh ternyata ia tidak memperdulikan pemerintahan kerajaannya. Keadaan kerajaan mulai goyah dan mengalami kemerosotan yang tajam. Oleh karena itu, Sultan Salahuddin diganti saudaranya yang bernama Alauddin Riayat Syah al-Kahar.
Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar: Sultan  Alauddin Riayat Syah al-Kahar memerintah Aceh dari tahun 1537-1568 Masehi. Setelah berhasil menduduki tahta kerajaan, ia mellaksanakan berbagai bentuk perubahan dan perbaikan dalam segala bentuk pemerintahan Kerajaan Aceh. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Aceh melakukan perluasan wilayah kekuasaannya seperti melakukan serangan terhadap Kerajaan Malaka (tetapi gagal). Daerah kerajaan Aru berhasil diduduki. Setelah pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar berakhir, Kerajaan Aceh mengalami masa suram. Pemberontakan dan perebutan kekuasaan sering terjadi. Baru setelah Sultan Iskandar Muda naik tahta, Kerajaan Aceh mengalami perkembangan yang pesat.
Sultan Iskandar Muda: Sultan Iskandar Muda memerintah Aceh dari tahun 1607-1636 Masehi. Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda, kerajaan Aceh mengalami kejayaannya. Kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan yang besar dan berkuasa atas perdagangan Islam. Bahkan menjadi bandar penghubung  yang dapat menghubungkan dengan pedagang Islam di dunia barat.
                 Untuk mencapai kebesaran Kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Muda meneruskan perjuangan Aceh dengan menyerang Portugis dan kerajaan Johor di semenanjung Malaya. Tujuannya adalah mengusai jalur perdagangan di Selat Malaka dan mengusai daerah-daerah penghasil lada. Sultan Iskandar Muda juga menolak permintaan Inggris dan Belanda untuk membeli lada di pesisir Sumatera bagian barat. Disamping itu, Kerajaan Aceh melakukan pendudukan terhadap daerah-daerah seperti Aru, Pahang,Kedah, Perlak, dan Indragiri, sehingga di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas.
                   Pada masa kekuasaannya terdapat dua orang ahli tasawwuf yang terkenal di Aceh, yaitu syech Syamsuddin bin Abdullah as-Samatrani dan syech Ibrahim As-syamsi. Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, Tahta Kerajaan Aceh digantikan oleh menantunya yang bergelar Sultan Iskandar Thani
Sultan Iskandar Thani: Sultan Iskandar Thani memerintah Aceh tahun 1636-1641 Masehi. Dalam menjalankan pemerintahan, ia melanjutkan tradisi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani muncul seorang ulama besar yang bernama Nuruddin ar-Raniri. Ia menulis bukun sejarah Aceh yang berjudul Bustanu’ssalatin. Sebagai ulama besar, Nuruddin ar-Raniri sangat dihormati oleh Sultan dan keluarganya serta oleh rakyat Aceh. Setelah ia wafat, tahta kerajaan dipegang oleh permaisurinya (putri Iskandar Muda) dengan gelar Putri Sri Alam Permaisuri. Memerintah pada tahun 1641-1675 Masehi.
                        B.KEMAJUAN KERAJAAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN

            Dalam bidang pendidikan di Kerajaan Aceh Darussalam benar- benar mendapat perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, di antaranya:
1- Balai Seutia Hukama;
     Merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2- Balai Seutia Ulama;
      Merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran
3- Balai Jamaah Himpunan Ulama;
       Merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu pendidikan[11].
 
      Adapun jenjang pendidikan yang ada adalah sebagai berikut:
1- Meunasah (madrasah)
     Terdapat di setiap kampung, berfungsi sebagai sekolah dasar, materi yang diajarkan yaitu; menulis dan membaca huruf arab, ilmu agama, bahasa Jawi/Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
2- Rangkang
      Diselenggarakan di setiap mukim, merupakan mesjid sebagai tempat berbagi aktivitas ummat termasuk pendidikan. Rangkang adalah setingkat madrasah Tsanawiyah. Materi yang diajarkan bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah,berhitung(hisab), akhlak,fiqih dan lain-lain
3- Dayah
     Terdapat disetiap daerah elubalang dan terkadang berpusat dimasjid, dan dapat disamakan dengan madrasah Aliyah sekarang. Materi yang diajarkan; fiqih (hukum islam), bahasa Arab, Tauhid, tasawuf/ahklak, ilmu bumi, sejarah/ tata negara, ilmu pasti dan faraid
4- Dayah Teuku Cik;
      Dapat disamakan dengan perguruan tinggi atau akademi, diajarkan fiqh, tafsir, hadis, tauhid(ilmu kalam), ahklak/ tasawuf,ilmu bumi, ilmu bahasa,dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat[12]
          Dengan demikian, jelas sekali bahwa di kerajaan Aceh Darussalam Ilmu pengetahuan benar-benar berkembang dengan pesat dan mampu melahirkan para ulama dan ahli ilmu pengetahuan, seperti Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin Sumatrani, Syekh Nuruddin ar-Raniry dan syehk Abdul Rauf Tengku Syiah Kuala, yang merupakan nama-nama tidak asing lagi sampai sekarang ini. Bahkan diantaranya ada yang diabadikan menjadi nama perguruan tinggi terkenal di Aceh yaitu IAIN Ar-Raniry dan universitas Syiah Kuala[13]
   
   

        
                C.PENYEBAB KEMUNDURAN KERAJAAN ACEH

1- Setelah Iskanar Muda wafat tahun 1636, tidak ada raja-raja besar yang mampu mengendalikan daerah Aceh yang demikian luas. Dibawah Sultan Iskandar Thani (1637-1641), sebagai pengganti Sultan Iskandar Muda, kemunduran itu mulai terasa dan terlebih lagi setelah meninggalnya Sultan Iskandar Thani.
2- Timbul pertikaian yang terus-menerus di Aceh antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan ulama (teungku) mengakibatkan melemahnya Kerajaan Aceh. Antara golongan ulama sendiri pertikaian karena perbedaan aliran dalam agama (aliran Syi’ah dan Sunnah wal Jamaah)
3- Daerah-daerah kekuasaannya banyak yang melepaskan diri, seperti Johor,Pahang, Perlak, Minangkabau, dan Siak. Negara-negara itu menjadikan daerahnya sebagai negara merdeka kembali, kadang-kadang dibantu oleh bangsa asing yang menginginkan keuntungan perdagangan yang lebih besar.

           Kerajaan Aceh yang berkuasa selama empat abad, akhirnya runtuh karena dikuasai oleh Belanda pada awak abad ke-20.[14]

No comments:

Post a Comment

Motif Penembakan Yang di Lakukan di Masjid Al Noor Christchurch yang menewaskan 40 orang

Datang dari Australia ke Selandia Baru Demi Tembaki Jamaah Masjid, Inilah Motif Tersembunyi Pelaku teror PERDANA Menteri Australia Sco...